Strategi P3H adalah kerangka kebijakan strategis untuk perencanaan dan penganggaran jangka panjangdan menengah Indonesia untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengatasi risiko lingkungan yang terkait dengan perubahan iklim yang mampu menyebabkan kerugian, kerusakan dan peningkatan kerusakan sumber daya alam. Strategi ini diharapkan akan melindungi Indonesia dari kerugian dan kerusakan yang mempengaruhi perekonomian, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca, dengan menerapkan pendekatan Ekonomi Hijau untuk mendefinisikan dan menerapkan 21 prioritas demi pertumbuhan ekonomi hijau yang dikelompokkan ke dalam 6 bidang kebijakan: perlindungan sumber daya alam; pertanian; energi dan industri; transportasi, perencanaan kota dan infrastruktur daerah; pendidikan dan kesehatan; manajemen risiko bencana; dan kebijakan pendukung lainnya.
Sejak pemerintah baru telah terpilih dan ditetapkannya agenda baru yang kemudian disebut sebagai 'Nawa Cita'- yang tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah baru (RPJMN), prioritas Strategi P3H ini perlu diperbarui untuk membuatnya sesuai dengan agenda baru dan konteks perubahan kelembagaan. Laporan Perkembangan singkat tahun 2015 ini merangkum Strategi P3Hsebelumnya (2014).Laporan ini memberikan perkembangan dan meninjau perubahan kelembagaan dan perkembangan baru dalam isu-isu ekonomi hijau, termasuk bukti baru dari kerugian dan kerusakan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi, dan menggambarkan bagaimana pendekatan hijau dapat diterapkan dalam RPJMN 2015-2019. Laporan Perkembangan 2015 ini ini diakhiri dengan bagian yang mengidentifikasi berbagai tindakan yang dapat diambil oleh lembaga-lembaga kunci yang bertanggung jawab dalam melaksanakan strategi terkait.
Penyusunan laporan akhir ini memiliki kesamaan dengan strategi dala penyusunan Strategi P3H yang mendukung perhitungan anggaran: (i) yang akan membantu dalam keberlanjutan peningkatan dalam menghadapi kerugian perubahan iklim β peningkatan dalam sektor berbasis lahan diperkirakan pada angka rata-rata 5% selama jangka menengah, dengan mengabaikan deforestasi dan mengutamakan ketahanan pangan; (ii) dampak kebijakan akan belanja dan defisit netral dalam jangka menengah dan bahkan dapat menyebabkan penciptaan ruang fiskal tambahan jika subsidi pupuk dapat dihapuskan atau dikurangi secara signifikan; dan (iii) akan ada pengurangan yang signifikan dalam emisi gas rumah kaca sesuai dengan komitmen RAN-GRK untuk sektor berbasis lahan - tCO2 468m pada tahun 2020 dan 731 m tCO2 pada tahun 2025.
Penyusunan laporan akhir ini memiliki kesamaan dengan strategi dala penyusunan Strategi P3H yang mendukung perhitungan anggaran: (i) yang akan membantu dalam keberlanjutan peningkatan dalam menghadapi kerugian perubahan iklim β peningkatan dalam sektor berbasis lahan diperkirakan pada angka rata-rata 5% selama jangka menengah, dengan mengabaikan deforestasi dan mengutamakan ketahanan pangan; (ii) dampak kebijakan akan belanja dan defisit netral dalam jangka menengah dan bahkan dapat menyebabkan penciptaan ruang fiskal tambahan jika subsidi pupuk dapat dihapuskan atau dikurangi secara signifikan; dan (iii) akan ada pengurangan yang signifikan dalam emisi gas rumah kaca sesuai dengan komitmen RAN-GRK untuk sektor berbasis lahan - tCO2 468m pada tahun 2020 dan 731 m tCO2 pada tahun 2025.
Teknologi Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (PPK) atau penyerapan dan pengasingan karbon telah diketahui sebagai satu cara yang paling efektif untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfir, terutama di sektor minyak dan gas bumi. Termasuk pula dalam kajian ini, LEMIGAS merekomendasikan sebuah proyek percontohan (pilot project) PPK denganmenggunakan Instalasi Pemprosesan Gas Merbau sebagai sumber CO2 yang akan diserap. Kalkulasi keekonomian proyek telah dilakukan untuk proyek percontohan ini, dengan asumsi 1 Mton CO2 diserap dari Merbau GGS.Biaya kapital untuk fasilitas penyerapan karbon dan jaringan pipa diperkirakan sekitar US$ 200 juta dengan biaya operasional $ 12 juta/tahun.Sumber pendanaan untuk proyek percontohan PPK dari GGS Merbau harus ditanggung oleh Pemerintah dan institusi finansial melalui hubungan bilateral dan multilateral antar institusi terkait proyek perubahan iklim, badan kredit ekspor dan dana-dana pemerintah. Untuk penggunaan CO2 dalam EOR, biaya inkremantal untuk modal dan operasi dapatditanggung oleh operator lapangan melalui konsep pengembalian biaya (cost recovery) dalam skema Production Sharing Contract (PSC).
Laporan ini memaparkan opsi kebijakan fiskal untuk sektor energi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia, dan laporan ini berdasarkan pada hasil penelitian dari tiga puluh empat kajian yang berkaitan dengan kebijakan fiskal Indonesia di sektor energi. Dalam laporan ini, disarankan opsi kebijakan fiskal jangka pendek dan panjang dari sisi permintaan dan penawaran energi. Di sisi permintaan energi, opsi kebijakan fiskal jangka pendek terdiri dari empat pilihan berupa: (1) pengurangan PPN untuk peralatan hemat energi, (2) pengurangan bea masuk bagi peralatan hemat energi yang tidak diproduksi di dalam negeri, (3) pengurangan pajak penghasilan untuk jenis usaha yang mendukung konservasi energi seperti energy service companies (ESCO), dan (4) pembiayaan konservasi energi berupa pinjaman lunak untuk mendukung pembelian piranti hemat energi dan pembangunan gedung hijau. Opsi kebijakan fiskal jangka panjang sisi permintaan energi terdiri dari tiga yaitu (1) penyesuaian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor berdasarkan efisiensi energi, (2) pengembangan kebijakan rabat untuk piranti hemat energi, dan (3) penjaminan pinjaman untuk mendukung badan usaha dalam pengajuan pinjaman lunak untuk aktifitas konservasi energi dan pembangunan gedung hijau. Di sisi penawaran energi, perangkat kebijakan fiskal jangka pendek terdiri dari enam opsi (1) penyederhanaan prosedur dan operasionalisasi agar badan usaha di bidang energi terbarukan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh insentif; (2) pengenaan sanksi misalnya sanksi pajak terhadap badan usaha dengan tingkat kebocoran emisi dalam produksi minyak dan gas diatas rata-rata, (3) pemilihan institusi pengelola fasilitas pendanaan pengembangan eksplorasi panas bumi, (4) arahan dalam pembiayaan PT PLN (Persero) untuk melaksanakan kogenerasi energi, (5) pinjaman lunak pembelian panel tenaga surya dan (6) dukungan dalam pembangunan infrastruktur energi gas. Dua opsi kebijakan fiskal jangka panjang sisi penawaran energi yaitu (1) pembiayaan pembelian panel tenaga surya melalui skema penjaminan pinjaman dan (2) penjaminan pinjaman untuk pengembangan panas bumi. Kunci dari kesuksesan Indonesia dalam mencapai ketahanan energi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah sinergi dari berbagai elemen pendukung lembaga pemerintahan yang relevan termasuk dengan sektor swasta, bersama dengan evaluasi berkala guna meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal untuk sektor energi.
Untuk memenuhi kebutuhan energi di masa mendatang, Indonesia harus meningkatkan pasokan listrik sekitar 4.000 MW per tahunnya, dan hal ini tentunya akan sangat membebani kemampuan keuangan PLN dan pada akhirnya negara. Beberapa contoh insentif keuangan untuk proyek-proyek efisiensi energi yang tersedia di beberapa negara APEC adalah: penurunan tarif pajak penghasilan; percepatan penyusutan; pembebasan pajak penjualan, pajak pertambahan nilai atau pajak impor; dan pinjaman berbunga rendah. SPEE yang dirancang dengan baik tidak hanya dapat memberikan pendanaan yang lebih murah bagi proyek-proyek melalui sektor perbankan, namun juga akan meningkatkan kesadaran, edukasi dan pelatihan untuk sektor publik serta dunia perbankan, yang diharapkan dapat mempercepat diluncurkannya prakarsa-prakarsa dan produk-produk layanan keuangan bank tanpa memerlukan dukungan jangka panjang yang signifikan dari pemerintah. SPEE, sebagai Program Kemitraan Pemerintah dan Swasta untuk Konservasi Energi akan mendorong sektor industri dan perdagangan untuk mengidentifikasi potensi penghematan energi dan melaksanakan reformasi efisiensi yang akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk perekonomian Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara yang berkontribusi terhadap produksi global gas suar sudah memprakarsai berdirinya βthe Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap 2010 (ICCSR)β yang dikoordinasikan oleh Bappenas untuk mengurangi gas flaring. Pemantauan pelaksanaan kebijakan penurunan volume emisi pembakaran gas telah disebutkan dalam berbagai peraturan. Namun, tidak satupun dari peraturan ini yang secara spesifik menyatakan bagaimana pengaplikasikan sistem fiskal atau instrument lingkungan-ekonomi. Peraturan tersebut lebih bersifat normatif sehingga pengembangan kebijakan fiskal yang lebih spesifik diperlukan agar dapat efektif. Tiga rekomendasi kebijakan pokok untuk meminimisasi gas suar bakar (gas flaring) diusulkan dalam kajian ini: (i) komersialisasi gas suar melalui peraturan, (ii) melaksanakan (enforcing) peraturan pemerintah kepada perusahaan migas, dan (iii) penggunaan fiskal disinsentif bagi perusahaan yang memproduksi gas buang secara berlebihan.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi yang terdepan dalam pengembangan energi terbarukan di dunia dengan adanya potensi untuk mengembangkan lebih dari 200 GW dari energi terbarukan, serta berpeluang untuk menjadi salah satu yang terdepan dalam bidang bioekonomi di masa mendatang. Pendekatan yang tegas untuk pengembangan energi terbarukan didasarkan 3 pilar terpisah yang saling terkait. Pertama, kerangka ekonomi dari proyek investasi energi terbarukan haruslah memadai sehingga investor dapat memperoleh tingkat pengembalian yang memadai, namun tidak berlebihan. Kedua, pembiayaan harus tersedia untuk peluang investasi yang baik dengan persyaratan yang masuk akal. Terakhir, dan yang merupakan pilar yang menyokong masing-masingpilar lainnya, kondisi ekonomi politik harus dapat meyakinkan investor bahwa mereka berinvestasi dalam rezim peraturan yang stabil.Indonesia memiliki potensi yang cukup baik untuk meningkatkan kinerja efisiensi energi lebih lanjut.Agar dapat memanfaatkan peluang yang ada tersebut, maka sangat penting untuk mengembangkan kerangka kebijakan fiskal terpadu yang akan memberikan penghargaan terhadap upaya peningkatan efisiensi energi, dan sebaliknya memidanakaan pemborosan energi dalam kerangka dimana peningkatan kesinambungan anggaran tetap merupakan persoalan yang teramat penting. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tersebut mencantumkan sejumlah intervensi prioritas di seluruh sektor ekonomi, termasuk melanjutkan pengurangan subsidi energi, pemberian insentif fiskal yang baru untuk pelaksanaan investasi dalam peralatan modal yang hemat energi, dan peningkatan peluang pembiayaan untuk investasi efisiensi energi.
Industri bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel merupakan satu dari dua pilar utama perekonomian berbasis nabati; pilar utama lainnya adalah industri pangan. Oleh karena itu, agar dapat bertransisi secara mulus ke era perekonomian berbasis nabati dan menjadi negara yang unggul di masa datang tersebut, pemerintah dan bangsa Indonesia tak boleh gagal, dengan kata lain harus berhasil membangun industri BBN domestik yang tangguh dan dinamik dengan cara: (i) memberikan berbagai kemudahan (misalnya membiayai studi kelayakan, menawarkan pemberian tax holiday, dsb) untuk mendorong tumbuhnya industri BBN bioethanol; (ii) penetapan kebijakan harga; (iii) membatalkan kebijakan pembelian BBN dengan cara tender; (iv) melanjutkan kebijakan pemberian subsidiBBN on-top dari dari harga BBM MOPS sampai beberapa tahun ke depan; (v) tidak mengenakan pajak keluaran (PPN yang dipungut pada penjualan produk) pada produsen-produsen bahan-bahan bakar nabati cair; dan (vi) menetapkan pertumbuhan dan kekuatan industri bioenergi domestik sebagai salah satu indikator kunci kinerja insitusi pemerintahan.
Secara global, biomasa kayu dari hutan telah digunakan untuk produksi biometanol. Studi ini mengkaji kembali studi kelayakannya di Indonesia dan beberapa hal yang dikaji adalah: (i) kerusakan tegakan yang mungkin terjadi di bagian penambat; (ii) kerusakan tanah akibat tingginya mobilitas alat berat; dan (iii) kesulitan dalam pemantauan karena kemungkinan pemanfaatan tegakan yang sulit dibedakan dari limbah hutan (dalam hal jenis dan ukuran). Metanol yang diproduksi secara konvensional melalui proses konversi dari gas alam telah berhasil digunakan sebagai campuran bensin untuk mesin berbahan bakar minyak sejak tahun 1980. Produk yang sama (bio-methanol) dapat diproduksi dari bio-massa termasuk dari limbah hutan. Struktur bisnis yang direkomendasikan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sampai saat ini bisnis bio-methanol belum secara khusus dikategorikan sebagai penerima insentif pajak.
© pkppim 2019
Pusat Kebijakan Pembiayaan
Perubahan Iklim dan Multilateral
Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Gedung RM Notohamiprodjo, lantai 5
Jl. Wahidin Raya No 1 , Jakarta (10710), Indonesia
T: +6221 3890 0711, F. +6221 3890 0708
E : pkppim@fiskal.depkeu.go.id
Website : www.fiskal.depkeu.go.id